Minggu, 19 Agustus 2018

Di Tanah Lada



Sebuah buku fiksi yang membuat saya bertanya-tanya di setiap detail cerita yang disuguhkan, karena tokoh utama yang membawakan kisah ialah anak kecil yang memiliki cara berpikir sangat dewasa. Ava—namanya perempuan yang masih ngompol dan membawa boneka kemana pun pergi, ia juga tak luput membawa sebuah kamus hadiah ulang tahun ke-3 dari kakeknya. Setiap mendapatkan kosakata baru, ia langsung mengecek di kamus—meski sesekali masih bertanya kepada Mamanya. Seorang ibu selalu punya cara untuk mendidik buah hatinya, tetapi tanggung jawab sebagai ibu tidak melulu menjawab pertanyaan seorang anak, ia harus memberikan pelayanan kepada suami maupun orangtuanya maupun orangtua suaminya.

Ketika seseorang harus kembali kepada Sang Pencipta, Kakek Kia yang merupakan kakek Ava mengubah kehidupannya. Ayah Ava menjadi semakin gila dengan harta warisan yang diberikan kepadanya. Ia bermain judi, dan memboyong keluarga besarnya untuk hidup di Gedung Nero, sebuah apartemen lapuk yang sudah keropos pun tak layak huni.

Ava menemukan seseorang yang lebih tua darinya empat tahun, seorang pengamen yang katanya bukan pengamen, menghiburnya di sebuah restoran dekat rusun ia baru pindah. Namanya P, nama asli bukan panggilan. Bocah yang tidak sekolah tapi pandai memainkan gitar dan berbahasa Inggris. Ava kagum dengan sosoknya yang menjadi penyelamat dari Papa-nya yang jahat—suka marah dan membuat mamanya menangis pun juga membuat dirinya menangis.

Ketika suatu malam Ava harus meringkuk dalam dingin, tanpa kasur dan bangun tanpa sambutan seorang ibu membuat Ava tidak nyaman di rumahnya. Ia memilih untuk pergi bermain dengan si P, ternyata di rusun ada banyak orang baik juga, seperti Ibu Ratna pemilik rusun, ada kak Alri sosok yang membuat P bisa bermain gitar dan berbahasa Inggris pun ada lagi Kak Suri yang melindunginya saat Papanya P marah besar.

“Semua Papa itu jahat,” itu yang ada dalam pikiran Ava maupun P. Tetapi, setelah ia melarikan diri dari rumah bertemu dengan seorang penjual sate, yang baik hati kepada mereka. Memperlakukan seperti anak sendiri. Membuat Ava menyadari, ada Papa yang  baik.

Sekali lagi namanya Salva, tetapi papanya lebih suka menyebutnya sebagai Saliva yang berarti ludah, hanya cocok di bawah dan terbuang. Beruntung Mamanya sering membela Ava, mengubahnya menjadi Salva yang berarti penyelamat. Nama sebuah doa seorang orangtua kepada anaknya, hingga suatu ketika si Pengamen yang bukan pengamen lengannya disetrika oleh Papanya sendiri.

Malam itu pula petualangan mereka dimulai, mencari rumah Nenek Ava yang ada banyak taburan bintang dan pantai. Menurut si P, Jakarta sudah tidak memiliki bintang lagi. Ia bahkan sering menjaga malam di atas rusun kumuh, penuh dengan kecoa dan tikus hanya untuk mencari bintang.
Entah apakah petualangan mereka akan berhasil, dengan usia yang masih di bawah umur?

Saya sangat setuju, novel ini menjadi pemenang sayembara DKJ 2014. Karena memiliki pola-pola baru dalam penulisan sebuah novel, Ziggy Z tetap konsisten memainkan tokoh utama anak kecil yang sudah berpemikiran dewasa, melalui kamus dan petuah-petuah Kakek Kia yang sudah wafat. Tulisan ciamik, konflik yang membuat geregetan, juga sederet karakter tokoh yang sangat kuat dengan menggunakan sudut pandang Ava dan si P. Diksi yang digunakan begitu unik, semacam cara bicara anak kecil yang melantur tetapi mudah dipahami.

Tetapi sayang sekali cerita ini ditutup terlalu cepat dan ending yang menggantung, membuat pembaca penasaran bagaimana akhir kisahnya yang sebenarnya.

Judul           : Di Tanah Lada

Penulis        : Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie
Penerbit      : Gramedia Pustaka Utama
Tanggal terbit : Oktober 2015
Jmlh Halaman : 244 halaman
ISBN           : 9786020318967

- Baiq Cynthia -



0 komentar: